Selasa, 27 September 2011

Tiga PAUD di Desa Teka Iku Terima Ijin Penyelenggaraan


foto: Pejabat dari Subdin PLS Dinas PPO Kab Sikka, Arkadius sedang menyerahkan Keputusan Kadis PPO tentang Pemberian Izin Penyelnggaraan Tiga PAUD Desa Teka Iku kepada Silvester Nusa, ECCDF Plan Indonesia untuk diteruskan ke PAUD masing-masing.


SEBANYAK Tiga Pusat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di Desa Teka Iku, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, menerima Surat Izin Operasional atau Penyelenggaraan dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Sikka. Surat izin itu diserahkan oleh Pejabat dari Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (Subdin PLS) Dinas PPO, Arkadius, kepada Silvester Nusa, ECCDF (Early Chilhood Care and Development Facilitator) Plan Indonesia Unit Sikka. Penyerahan itu berlangsung di ruang kerja Arkadius pada Selasa (27/9/2011). Penyerahan surat izin penyelenggaraan ini disaksikan oleh salah seorang karyawan Subdin PLS dan salah seorang penyelenggara PAUD yang datang mengurusi administrasi di kantor tersebut.
Pada kesempatan itu, pihak Subdin PLS menyerahkan masing-masing tiga surat izin penyelenggaraan bagi PAUD Teka Iku I bernomor 105/SK/PPO/2011, PAUD Teka Iku II bernomor 106/SK/PPO/2011 dan PAUD Teka Iku III bernomor 107/SK/PPO/2011/ Ketiga surat izin penyelenggaraan tertanggal 12 September 2011 itu ditanda-tangani oleh Kepala Dinas PPO Kabupaten Sikka, Yohanes Rana, S.Pd. Tembusan surat izin operasional tersebut juga dikirim kepada Bupati Sikka, Kepala Dinas PPO Propinsi NTT di Kupang, Ketua DPRD Sikka, Camat Kangae dan Kepala Cabang Dinas PPO Kecamatan Kangae.
Surat permohonan izin penyelenggaraan PAUD itu dikeluarkan Dinas PPO Kabupaten Sikka atas permintaan Kepala Desa Teka Iku, Laurentius Vensi selaku pembina dan pelindung PAUD Desa Teka Iku setelah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan. Surat permohonan ijin operasional Nomor 421.1/74/1/2011 beserta lampiran-lampirannya disampaikan Kepala Desa Teka Iku pada tanggal 8 September 2011 lalu. Dokumen permohonan izin operasional diantar oleh Silvester Nusa, ECCDF atau Fasilitator Pengembangan dan Pengasuhan Anak Usia Dini kepada Subdin PPO Kabupaten Sikka. Setelah diverifikasi akhirnya lembaga itu mengeluarkan izin penyelenggaraan. Izin tersebut diberikan dalam batas ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak, UU Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, UU Nomor 39 tahun 1992 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional. Peraturan Pemerntah (PP) Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom, dan PP Nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah.
Sebagaimana tertuang dalam izin penyelenggaraan PAUD tersebut, pertama, para pemegang izin operasional wajib menyelenggarakan PAUD tersebut sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi fungsi sosialnya terhadap masyarakat. Kedua, wajib mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang akan ditentukan kemudian. Ketiga, wajib mengirimkan laporan berkala sesuai dengan ketentuan menurut model yang ditetapkan.
Ketiga PAUD yang disebutkan dalam izin operasional tersebut berpusat di tiga posyandu yakni PAUD Teka Iku I di Posyandu Mawar Hubin Kloang, PAUD Teka Iku II di Posyandu Melati Wolomude dan PAUD Teka Iku III di Posyandu Dahlia Hubin Natar. Untuk PAUD Teka Iku 1 dikelola oleh Maria Anselmi Reineldis dan Ludvina Nona Lence, PAUD Teka Iku II Wolomude dikelola oleh Laurentius Vensi dan Marieta Nurani Usranda, serta PAUD Teka Iku III dikelola oleh Maria Eminolda masing-masing sebagai penanggung jawab dan penyelenggara.
ECCDF Plan Indoneaia Unit Sikka, Silvester Nusa, mengatakan, dengan adanya izin operasional tersebut dapat lebih membangkitkan semangat dan motivasi para pengelola dan pengasuh PAUD di masing-masing posyandu untuk lebih giat melaksanakan aktifitasnya.
“Dengan adanya izin operasional ini, secara hukum pemerintah telah mengakui keberadaan ketiga PAUD yang ada d Desa Teka Iku. Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Pemda Sikka melalui Dinas PPO yang cukup tanggap karena dokumen permohonan izin operasional baru kam serahkan seminggu saja sudah bisa peroleh izin operasionalnya. Kita berharap dengan adanya izin operasional ini para pengelola dan pengasuhnya lebih semangat dalam melaksanakan perannya, “ujar Silvester Nusa, usai menerima izin operasional di Dinas PPO Kabupaten Sikka.
Silvester Nusa, mengatakan, pihaknya dari Plan Indonesia atas dukungan Plan Australia memberikan dukungan bagi pengembangan dan pengasuhan anak usia dini melalui ECCD Project selama tiga tahun sejak tahun 2011 hingga tahun 2013 di 8 desa termasuk Desa Teka Iku. Dukungan itu diberikan dengan tujuan agar bisa memastikan bahwa anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dapat mengembangkan potensi fisik, social, emosional dan kognitif mereka secara maksimal di sekolah dan kehidupannya, sehingga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Model dukungan Plan terhadap PAUD adalah PAUD yang terintegrasi dengan posyandu.
Suatu komponen penting strategi pengembangan anak usia dini, kata Nusa, adalah memupuk solidaritas kelompok keluarga di masyarakat dengan pengetahuan, keterampilan dan komitmen terhadap model pengasuhan dan stimulasi yang efektif bagi anak-anak mereka sendiri serta mempromosikan perubahan-perubahan ke komunitas yang lebih luas. Kelompok keluarga ini memiliki peran kunci dalam mengelola kualitas pusat penngembangan anak usia dini sehingga melengkapi dan membantu keluarga mempromosikan pembelajaran, memperkuat nilai-nilai social dan kewarganegaraan yang penting bagi masyarakat. Untuk mencapai maksud ini membutuhkan pendekatan pendidikan parenting yang berfokus pada tujuan dan kemampuan. Pendekatan ini mampu menciptakan perubahan praktek-praktek pengasuhan yang diperlukan anak untuk berkembang dan belajar secara efektif, seraya juga memotivasi masyarakat menciptakan aksi yang berpihak pada perkembangan, pembelajaran dan perlindungan anak.
“Pusat Pengembangan Anak Usia Dini yang bermutu membantu keluarga menyiapkan anak masuk sekolah. Semua anak harus memiliki akses terhadap program siap masuk sekolah yang bermutu. Bila hanya sebagian atau tidak semua anak memiliki akses maka hanya akan menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam hasil belajar di kelas 1 sekolah dasar, “terangnya.  (***)



Senin, 26 September 2011

Perlukah Masyarakat Mengawasi Pemerintah Dalam Pelayanan Publik?

Oleh: Silvester Nusa  *)  

BERGULIRNYA reformasi pemerintahan yang dipelopori oleh para mahasiswa angkatan tahun 1966 dan angkatan tahun 1998 telah membawa banyak perubahan dalam sistim pemerintahan dan ketata-negaraan. Reformasi yang telah mengorbankan jiwa dan raga itu seolah telah menemukan roh dari sistim pelayanan pemerintahan yang sesungguhnya. Namun, zaman terus berubah, mental aparatur pemerintahan kita mulai kendur dari semangat reformasi itu sendiri. Rakyat terkadang dilihatnya bukan sebagai ”tuan” atas pelayanannya tetapi jusrtru dipandang sebagai ”orang yang bodoh, orang yang perlu diatur-atur, orang yang perlu disuruh-suruh” dan lain sebagainya. Rakyat yang seharusnya sebagai ”tuan” atas sistim pemerintahan itu sendiri justru menjadi pihak yang terabaikan. Lihat saja mulai dari pengalokasian jatah anggaran. Siapa yang lebih besar menggunakan kekayaan negara? Justru para aparatur pemerintahan. Biaya atau belanja aparatur seluruh daerah jauh lebih besar ketimbang belanja pembangunan. Untuk datang ke desa saja yang berjarak satu atau dua kilo meter dari kantor harus mengantongi surat perintah perjalanan dinas (SPPD). Isi dari kandungan SPPD itu sebenarnya bukan pada maksud dan tujuan perjalanan itu sendiri melainkan berapa besar rupiah yang tertera di dalamnya. Maka jadilah rakyat yang ”ditunggangi” oleh para aparatur negara kita.

Kini saatnya masyarakat perlu menyadari tentang tugas utama dari pemerintah itu sendiri yakni memberikan pelayanan umum (public service), pembangunan (development) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Ketiga fungsi tersebut di atas menjadi alasan mendasar mengapa diperlukan pemerintah dalam sebuah negara. Apabila tidak dapat mengemban ketiga misi ini secara baik, harus dipertanyakan; apakah pemerintah masih dibutuhkan?  Tugas pemerintah yang pertama adalah memberikan pelayanan publik (public service). Menurut (Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Thn 2009), pelayanan Publio diartikan sebagai suatu kegiatan/rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan di berbagai bidang bagi setiap warga negara. Jika kita berbicara tentang pelayanan maka unsur dari pelayanan itu sendiri antara lain berupa barang, jasa dan administratif. Pelayanan publik ini disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik atau pemerintah yang direpresentasikan pada dinas, badan, kantor, bagian atau bentuk lain dari satuan kerja perangkat daerah dan negara.

Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Kep Menpan) Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003), pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan. Penyelenggara dari pelayanan publik menurut Kep Menpan ini adalah instansi pemerintah pada semua tingkatan. Instansi pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan Instansi pemerintah lainnya baik pusat maupun daerah, BUMN, BHMN, dan BUMD.  

Berlakunya UU Pelayanan Publik maupun terbitnya Keputusan Menpan tersebut sebenarnya bermuara pada suatu tujuan besar yakni memberikan kepastian masyarakatbahwa semua sektor pemerintahan akan bekerja secara profesional, jujur dan dilandasi keadilan. Dengan demikian, masyarakat mengharapkan pemberian pelayanan publik secara berkualitas dari aspek proses, anggaran, personil, sarana/prasarana sehingga dapat menjamin bahwa masyarakat akan mendapat apa yang harus diperolehnya.

            Yang Diatur Dalam UU  
Tentu saja dengan lahirnya UU tersebut, semua pihak baik pelayan maupun orang yang dilayani akan terjamin hak-haknya. Namun di sisi lain, sebagaimana undang-undang lainnya, selain hak harus ada keseimbangan antara hak dengan kewajiban. Jika tuntutan hak jauh melebihi kewajiban maka akan nampak ketimpangan dalam proses pelayanan. Inilah yang disebut dengan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perjuangan untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2002. Perjuangan ini mencapai puncaknya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Apa saja yang diatur di dalam UU tersebut? Jika kita secara jeli menghitungnya  maka kita akan menemukan 13 point penting yang di atur dalam UU tersebut. Materi-materi yang ditur dapat kita utarakan satu persatu. Pertama, hak dan kewajiban penyelenggara Negara. Kedua,  hak dan kewajiban pelaksana pelayanan. Ketiga, hak dan kewajiban masyarakat. Keempat,  larangan bagi pelaksana. Kelima, kewajiban menyusun standar pelayanan. Keenam, kewajiban membuat maklumat pelayanan. Ketujuh,  sistem informasi pelayanan publik. Kedelapan, pelayanan khusus, penilaian kinerja. Kesembilan,  peran serta masyarakat, mekanisme pengaduan. Kesepuluh, ganti rugi bila menimbulkan kerugian. Kesebelas,  penyelenggara/pelaksana dapat digugat ke PTUN (Kerugian TUN, perluasan obyek gugatan TUN sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Keduabelas, digugat ke Pengadilan (perbuatan melawan hukum). Ketigabelas, melalui ajudikasi oleh Ombudsman Republik Indonesia (diatur dengan Perpres).

Dalam UU Pelayanan Publik juga secara jelas mengatur tentang sanksi bila pihak penyelenggara tidak melaksanakan kewajibannya. Sanksi yang dikenakan pada umumnya bersifat administratif berupa: terguran tertulis,  pembebasan dari jabatan,  penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun, penurunan pangkat setingkat lebih rendah paling lama 1 tahun, pemberhentian tidak hormat, pemberhentian dengan hormat. Bagi perusahaan dapat dicabut izin terbit,  bila ada sanksi pidana maka tidak otomatis membebaskannya dari ganti rugi.

Undang-Undang Pelayanan Publik juga mengamanatkan kepada para kepala daerah yakni gubernur, walikota, bupati selaku pembina pelayanan publik harus terus melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan melaporkan perkembangannya kepada DPRD setempat. Selain itu, para pembina pelayanan publik juga wajib memberikan perhatian berupa penghargaan kepada penyelenggara/pelaksana yang berhasil melaksanakan tugas. Penghargaan ini dimaksudkan untuk memberikan semangat, motivasi dan dorongan kepada yang lainnya untuk terus berlomba menunjukan prestasi dan kinerja yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima kepada publik, maka tugas dari para pembina adalah memastikan dan menyiapkan kemampuan aparat (SDM) birokrat dalam melakukan pelayanan,  memberikan materi manajemen pelayanan dalam Diklat-Diklat Pra Jabatan bagi calon PNS dan Diklat-Diklat struktural dalam berbagai tingkatan. Dengan cara ini, aparatur akan memastikan dirinya bisa memberikan pelayanan yang prima dan profesional di bidangnya. Untuk dapat mengukur seberapa besar kwalitas dari kinerja atau pelayanan tersebut maka sangatlah perlu menetapkan sebuah standar dari pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan. Komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalam penetapan standar pelayanan publik adalah dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme, dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, sarana dan prasarana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai standar pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja pelaksana.

Dengan adanya sejumlah komponen standar pelayanan tersebut maka akan berdampak pada kwalitas dari setiap layanan insitusi publik. Implikasi dari standar pelayanan itu bisa dilihat dari; pertama, masyarakat akan terjamin menerima suatu pelayanan dari Pemerintah. Kedua, dapat ditentukan Standard Spending Assesment (SSA) yaitu perhitungan biaya untuk suatu pelayanan, dan perhitungan kebutuhan agregat minimum pembiayaan daerah. Ketiga, menjadi landasan dalam menentukan anggaran suatu pelayanan publik, perimbangan keuangan dan anggaran berbasis kinerja. Keempat, bagi daerah, dapat membantu penilaian kinerja atau LPJ Kepala Daerah secara lebih akurat, terukur, transparan dan akuntabel. Kelima, menjadi argumen bagi peningkatan pajak dan retribusi daerah karena baik Pemda dan masyarakat dapat melihat keterkaitan pembiayaan dengan pelayanan publik yang disediakan Pemerintah. Keenam, merangsang rasionalisasi kelembagaan Pemda, karena Pemda akan lebih berkonsentrasi pada pembentukan kelembagaan yang berkolerasi dengan pelayanan masyarakat. Ketujuh, membantu Pemda dalam merasionalisasi jumlah dan kualifikasi pegawai yang dibutuhkan dengan kemampuan mengelola pelayanan publik tersebut.

            Pengawasan Publik
Dalam UU Pelayanan Publik, ada klausul yang mengamanatkan tentang perlunya pengawasan pelayanan publik yang terdiri dari pengawasan eksternal maupun internal. Untuk pengawasan internal, bisa dilakukan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan    perundang-undangan, atau pengawasan yang dilakukan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan pula. Sedangkan pengawasan eksternal, dilakukan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan publik. Pengawasan eksternal juga dilakukan oleh lembaga negara yang namanya ombudsman sesuai dgn peraturan perundang–undangan, dan pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan tingkatan yakni kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.

            Peran Ombudsman
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 angka “1” UU No. 37 Thn. 2008).

Tugas Ombusman menurut UU ini adalah; pertama, menerima laporan dugaan maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua, melakukan pemeriksaan laporan. Ketiga,  menindaklanjuti laporan. Keempat,  melakukan investigasi atas prakarsa sendiri. Kelima, melakukan koordinasi/kerjasama dengan lembaga negara/lembaga pemerintahan /lembaga kemasyarakatan/ perseorangan. Keenam,  membangun jaringan kerja. Ketujuh, melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyeleggaran pelayanan publik. Kedelapan, melakukan tugas lain yang diberikan undang-undang (Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2008).

Untuk memastikan lembaga ombudsman dapat berperan sesuai tugas yang telah disebutkan, lembaga ini oleh UU Pelayanan Publik juga mengamanatkan sejumlah kewenangan sebagaimana yang terurai di Pasal 8 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2008. Kewenangan yang dimaksud adalah; pertama. meminta keterangan pihak-pihak yang terkait dengan laporan. Kedua, memeriksa dokumen terkait. Ketiga, meminta klarifikasi, salinan, copy atau dokumen lain pada instansi penyelenggara negara. Keempat, melakukan pemanggilan. Kelima, melakukan mediasi, konsiliasi atas permintaan para pihak. Keenam, membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, ganti rugi dan/rehabilitasi. Ketujuh, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi.

Terkait dengan pentingnya kelembagaan ombudsman ini, sejak tahun 2005, Kantor Ombudsman RI Perwakilan NTT dan NTB telah menerima 820 laporan masyarakat. Laboran ini belum ditambah dengan komplain masyarakat kepada lembaga konsumen seperti YLKI dan lain-lain serta komplain yang disampaikan melalui LSM. Mengana ombudsman harus menerima keluhan sebanyak itu? Ini semua disebabkan oleh karena buruknya pelayanan dan ini bisa kita rasakan saat berurusan dengan dinas/badan/kantor/unit yang membawahi bidang tugas pelayanan kepada masyarakat berupa KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, surat-surat tanah dan lain sebagainya. Daam pelayanannya kita juga menemukan ada dua model yang dikedepankan oleh para aparatur. Ada yang menggunakan jalar aturan dan ada yang menggunakan jalar pertemanan atau kekeluargaan serta jalur sogok agar administrasi yang dibutuhkan segera diproses cepat. Jika tidak maka membutuhkan waktu yang Sangat lama karena berbelitnya syarat dan prosedur yang tidak jelas atau perlunya biaya tambahan tanpa statu dasar hukum.

Pokok permasalahan dari buruknya kinerja pelayanan tersebut sebenarnya berpangkal pada rendahnya moralitas dan etos verja aparatur. Problem lanilla hádala aparatur belum sepenuhnya responsif sehingga harus dibekali melalui diklat sehingga setiap tahun seorang aparatur harus berpindah tempat duduk dari satu hotel ke hotel yang lain atau dari satu aula ke aula yang lain hanya untuk mengikuti diklat. . Problem berikutnya aalah kurang adanya koordinasi lintas sector, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/aspirasi, kelembagaan (hirarkis dan berbelit-belit. Dampak lain dari buruknya pelayanan seperti ini adalah para pelaku bisnis enggan berinvestasi di daerah. Padahal, setiap pelaku bisnis sangat membutuhkan waktu dan iklim usaha yang aman. Lalu adakah alternatif solusi untuk memecahkan segumpal problemática ini? Solusinya adalah perlu ada penetapan standar pelayanan bagi seluruh SKPD termasuk BUMN dan BUMD, pengembangan estándar operacional pelayanan. Perlu ada survey kepuasan penerima layanan, pengembangan sistem pengelolaan pengaduan,  restrukturisasi birokrasi (PP 41/2008). Perlu ada suatu komitmen dan tekad yang kuat dari kepala daerah untuk memberantas perilaku koruptif. Selain itu, yang harus dilakukan adalah perlunya membangun jaringan dengan media massa dan LSM guna melakukan kontrol dan sosialisasi hasil pembangunan. Untuk dapat melaksanakan ini, maka seorang kepala daerah dan pimpinan SKPD rajin-rajin berkomunikasi dengan wartawan baik melalui press room yang disediakan pemerintah di Kantor Bupati atau Walokota dan Gubernur, atau melalui press release.


*) Penulis adalah Pekerja Sosial di sebuah NGO tinggal di Maumere, Flores.

Sabtu, 24 September 2011

TANAH EKS HGU MISI RAMAI-RAMAI “DIKAPLING”

 
“…Berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Lukas 20:25
RASANYA tepat, kalimat itu dijadikan bahan permenungan, kalau bicara soal tanah Hak Guna Bangun (HGB) atau lebih dikenal eks Hak Guna Usaha (HGU) Misi di Kabupaten Sikka. Atas pertimbangan ada karyawan Misi yang telah mengabdikan diri selama puluhan tahun di Misi, pemerintah memberikan 40 persen dari 237 hektar tanah eks HGU Misi kepada Dioses Agung Ende.
Sebanyak 123 dari 237 eks karyawan Misi sudah dapat jatah tanah itu. Sisanya sebanyak 107 belum mendapatkan apa yang menjadi haknya. Anehnya, pihak Keuskupan Agung Ende, secara tegas menyatakan bahwa masalah tanah eks HGU Misi dengan Keuskupan di Kabupaten Sikka sudah selesai dan final. Tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi.
“Berulang kali, Kelompok 70 bertemu dengan Keuskupan Agung di Ende, maupun di Maumere. Bahkan Pemkab Sikka dan DPRD Sikka. Tapi, tidak jelas. Kami pernah bertemu Uskup Agung Ende Alm. Longginus da Cunha di Ndona, Ende, tapi Uskup mengatakan sudah final. Malah, baru-baru ini, Dengar Pendapat dengan DPRD Sikka, dari Keuskupan juga tidak datang,” kata Cosmas Delius, Koordinator Kelompok 70, ketika ditemui Flores File dikediamannya, Senin (13/6/2011).
Berbagai pertanyaan dikalangan masyarakat kemudian muncul kepermukaan. Aroma tak sedap pun bertebaran. Apakah tanah tersebut sudah dibagikan kepada semua orang yang bukan merupakan bekas karyawan Misi, sehingga masih ada yang belum mendapatkan jatah itu. Atau memang tanah itu sudah dijual oleh oknum-oknum tertentu?. Beragam pertanyaan itu, belum bisa dijawab. Dan belum bisa pula membuat hati 107 bekas karyawan Misi dan masyarakat Kabupaten Sikka merasa puas.
Lebih aneh lagi, 60 persen dari 237 hektar tanah eks HGU Misi yang menjadi milik Pemkab Sikka, dibagikan kepada pejabat dan mantan pejabat. Tanah yang diberikan secara cuma-cuma itu, juga diduga kuat telah diperjual – belikan layaknya hasil keringat dan jerih payahnya. Sungguh memprihatinkan. Tapi ini kenyataan.
Sebuah forum masyarakat yang menamakan diri Forum Peduli Keadilan dan Damai (FPKD) Kabupaten Sikka, pimpinan Servus Baru, berulangkali mempertanyakan hal itu. Mengapa tanah aset daerah Kabupaten Sikka itu dibagikan kepada para pejabat dan mantan pejabat? Bahkan, sudah ada yang diperjual-belikan kepada pihak lain.
“Semua telah diatur, bahwa aset daerah tidak dibagikan kepada siapa saja. Tapi untuk kepentingan umum. Saya heran, aset daerah dibagikan dan parahnya lagi diperjual-belikan. Di atas tanah itu, dibangun toko, kios, tempat jual beli hasil komoditi, dan gudang milik pengusaha di Kabupaten Sikka,” kata Servus Baru.
Tidak hanya itu, Cosmas Delius dan Servus Baru juga mempertanyakan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHU) atas tanah eks HGU Misi. Bukankah, berdasarkan aturan perundang-undangan penerbitan sertifikat harus disertai dengan bukti otentik kepemilikan tanah. Dan yang terpenting adalah sejarah asal usul tanah yang hendak disertifikatkan pemilik.
“Ini sebuah pembohongan. Sertifikat yang diterbitkan untuk tanah eks HGU Misi fiktif. Apa alasannya, BPN Sikka menerbitkan sertifikat tanah eks HGU kepada para pejabat dan mantan pejabat di Kabupaten Sikka?,” tegas Servus Baru.
Anehnya, ruang dialog formal, antara Kelompok 70 dengan Keuskupan, Pemkab Sikka dan DPRD Sikka, nyaris hanyalah bumbu penyedap rasa. Tenaga, keringat dan nyawa sekalipun, yang dipertaruhkan demi membesarkan dan mengharumkan nama Misi oleh bekas kanyawan Misi, nyaris tak ada nilainya.
Ruang dialog formal antara FPKD Sikka dengan Pemkab Sikka dan DPRD Sikka, juga nyaris hanyalah isapan jempol belaka. Pemkab Sikka dan DPRD Sikka berdalil, masalah tanah eks HGU Misi sudah selesai. Dan sudah final. Hal ini dapat ditarik dari pernyataan Rafael Raga, Ketua DPRD Sikka, ketika diwawancarai Flores File diruang kerjanya.
“Masalah tanah eks HGU Misi sudah selesai dan sudah final. Artinya sudah selesai dan tidak perlu dibicarakan lagi. Tanah eks HGU Misi milik pemerintah telah dipergunakan untuk kepentingan umum,” kata Rafael Raga (Flores File Edisi 36/III Minggu 1-Januari 2010).
Tidak hanya Rafael Raga, Ketua Komisi A DPRD Sikka, Yohanes Wilhelmus Pega, juga berpendapat sama. Welly Pega, begitu politisi muda PDI Perjuangn ini biasa dipanggil, mengatakan, Komisi A DPRD Sikka, telah berulangkali memfasilitasi pertemuan, baik Kelompok 70, maupun FPKD Sikka dengan Keuskupan dan Pemkab Sikka.
“Dari berbagai fasilitasi yang dilakukan Komisi A, disarankan agar permasalahan ini diselesaikan secara hukum oleh kedua pihak. Baik antar Keuskupan dengan Kelompok 70 maupun antara FPKD dengan Pemkab Sikka. Nanum, sampai sekarang belum dilakukan,” kata Welly, kepada Flores File, Selasa (14/6/2011), di Gedung Komisi DPRD Sikka.
Meski begitu, dari sisi keadilan, Welly juga menyayangkan pembagian tanah eks HGU Misi kepada pejabat dan mantan pejabat. “Kita menyayangkan pembagian kepada orang perorangan. Mestinya ini tidak perlu terjadi. Sekarang yang harus dikawal adalah menjaga agar pembagian tanah eks HGU Misi kepada perorangan dihentikan. Sebaliknya, tanah itu disiapkan untuk kepentingan umum, kepada lembaga pemerintah atau swasta yang mengurus kepentingan umum,” katanya.

Sejarah Singkat Tanah
 Data yang dihimpun Flores File, menyebutkan, tanah eks HGU Misi mulanya adalah tanah konvensi hak barat (Erftpact) dengan pemegang hak guna usaha dahulunya Misio Sunda Kecil dan terakhir Dioses Agung Ende. Pada tahun 1980, masa kontrak berakhir dan tanah tersebut diserahkan kembali kepada negara pada tanggal 24 September 1980.
Sebelum masa kontrak berakhir, pada tahun 1979, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979, tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konvensi Hak-Hak Barat. Pemegang hak Dioses Agung Ende mengajuhkan surat tertanggal 3 Desember 1979, perihal Rencana dan Laporan Penggunaan Tanah Asal Konvensi Hak Barat kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Surat itu mendapat persetujuan sepenuhnya dari Mendagri, melalui Direktur Jenderal Agraria surat No: BTU 7/423/7.81, tertanggal 21 Juli 1981, perihal perubahan peruntukan/penggunaan tanah asal konvensi hak barat. Persetujuan Mendagri juga dikeluarkan melalui Surat Keputusan No.:SK.239/HP/DA/82, tertanggal 18 Desember 1982.
Tanah eks HGU Misi diberikan kepada Dioses Agung Ende seluas 20,3 hektar, dibagi menjadi delapan bagian. Masing-masing, disebutkan, bangunan – bangunan untuk keperluan Kesusteran, gedung Gereja, pekuburan umat Katolik, kompleks rumah Biara, gedung Paroki, perumahan karyawan Keuskupan Agung, persekolahan dan pengolahan kopra.
Sebagian diperuntukkan bagi keperluan Pemda berupa Kompleks SD Inpres, SMA Negeri, Kantor Agraria, Kantor Agama, Balai Nikah dan Perencanaan Tata Kota.
Informasi yang dihimpun Flores File, juga disebutkan, awal mula adanya kebijakan Pemkab Sikka membagikan tanah eks HGU Misi kepada mantan pejabat dan pejabat adalah pada tahun 1990-an, dimasa kepemimpinan Bupati Sikka Alm. Drs. AM. Konterius.
     Bupati Konterius melalui kebijakannya membagikan tanah eks HGU Misi kepada para pejabat dan mantan pejabat. Kebijakan ini berlanjut pada masa kepemimpinan Bupati Sikka Drs. Alexander Idong, Bupati Drs. Paulus Moa dan Bupati Drs. Alexander Longginus.
Nah, sekarang di atas tanah eks HGU Misi milik Pemkab Sikka itu, telah dibangun rumah mewah dan megah milik para pejabat dan mantan pejabat. Ibarat kawasan mewah Pondok Indah, Jakarta-bangunan rumahnya bernilai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah.

Tidak Tercatat Aset Daerah

     Sungguh ironis. Tanah eks HGU Misi milik Pemkab Sikka tidak tercatat sebagai aset daerah di Kantor Dinas Pendapatan, Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Sikka. Padahal, mengenai pengelolaan barang daerah diatur secara jelas dan tegas dalam Peraturan Daerah (Perda). Perda yang kini berlaku adalah Perda No. 26 Tahun 2007.
Selama dua hari, Flores File, mendatangi Kantor DPPKAD Sikka hendak mengkonfirmasi terkait aset daerah tersebut, namun pimpinan dan Kepala Bagian Aset tidak berada ditempat. Baru, pada Kamis (16/6/2011), ditemui di DPRD Sikka, Kepala Bagian Aset DPPKAD Sikka, Anselmus Moa, SE., MSi., mengatakan, aset daerah tanah eks HGU Misi tidak tercatat di Bagian Aset DPPKAD Sikka.
Tidak sampai disitu, Flores File, melakukan penelusuran di Bagian Pemerintahan Setda Sikka. Kepala Bagian Pemerintah Setda Sikka, Martha Hubert Pega, mengatakan, Bagian Pemerintah, tugasnya hanya mengurus pengadaan tanah dan pengurusan sertifikat tanah - tanah miliki daerah yang belum disertifikat. Martha menyarankan, agar konfirmasi ke Sekretaris Daerah (Sekda). Sekda punya kewenangan dan kapasitas untuk memberi keterangan terkait tanah eks HGU Misi.
Dari penelusuruan Flores File, sebagian besar lahan eks HGU Misi seluas 237 hektar itu telah berdiri bangunan megah - mewah, bangunan gudang dan toko - toko. Intinya, seluruh tanah eks HGU Misi sudah ada pemiliknya. Dan parahnya, tanah eks HGU Misi milik Pemkab Sikka yang tersebar di sekitar Jalan Litbang dan Jalan Wairklau, ramai-ramai “dikapling” pejabat dan mantan pejabat di Kabupaten Sikka. ***
Ditulis oleh wentho eliando

BUPATI JANGAN DIAM

ADA “KORUPSI” KEBIJAKAN MAHA DASHYAT

LAIN LAGI dengan Kasimirus Bara Bheri, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat (Pusam) Indonesia. Menurutnya, sebagai penanggungjawab atas aset - aset daerah, Bupati Sikka Drs. Sosimus Mitang, seharusnya mengambil langkah - langkah terobosan untuk mempertanggungjawabkan tanah ini kepada masyarakat. Minimal memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah tanah eks HGU Misi dan kepada siapa atau lembaga mana, tanah itu telah diperuntukkan.
“Bupati jangan ambil sikap diam, meskipun saat ini sudah tidak terjadi pemberian kepada siapapun dan atau lembaga manapun. Adalah kewajiban Bupati untuk menyampaikan kepada masyarakat, karena aset ini milik umum. Bukan hanya kepada DPRD,” kata Caesar, begitu Kasimirus Bara Bheri biasa dipanggil, Selasa (14/6) di Maumere.
Karena itu, Caesar, yang juga adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Sarjana Katolik (DPD ISKA) NTT ini, berharap Pemkab Sikka mendata ulang aset - aset Pemkab tersebut. “Jangan sampai Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanya hidup sebagai slogan semata,” katanya.
            Korupsi Kebijakan
Lebih lanjut, Caesar menilai pembagian tanah aset daerah, khususnya tanah eks HGU Misi, dapat dikategorikan sebagai “korupsi kebijakan” yang maha dahsyat yang terjadi secara sistemik dan telah berlangsung begitu lama. Peruntukan tanah ini pun, menurutnya, menjadi tidak jelas. Sebagai pengelola aset daerah Pemkab Sikka tidak pernah menjelaskan ke masyarakat - bagaimana cara mengelola aset ini dan peruntukannya. Tiba tiba saja di atas hamparan tanah Eks. HGU Misi itu berdiri bangunan mewah megah milik pribadi.
“Ibarat pesulap David Copervil telah membalikan telapak tangan dan terjadilah semuanya: telah berdiri kokoh rumah mewah, gudang, toko, bahkan rumah pengusaha besar dan bangunan lainnya,” katanya.
Menurut Caesar, peruntukan tanah eks HGU Misi seharus diberikan kepada para pegawai kecil golongan satu, dua dan masyarakat yang kategori kelas bawah di kabupaten ini. Bukan sebaliknya, membagikan kepada para pejabat dan mantan pejabat, yang notabene mempunyai penghasilan besar dan mempunyai tunjangan jabatan yang besar pula.
“Sebut saja, mantan Bupati, Wakil Bupati, Sekda, Kepala-Kepala Dinas, dan beberapa anggota DPRD Sikka. Apa dasar pemberian dan apa yang menjadi pertimbangan pemerintah daerah memberikan tanah eks HGU Misi kepada mereka?. Ini namanya, ‘perampasan’ hajat hidup orang banyak,” tandasnya.
Kalau mau jujur dan obyektif, kata Caesar, penggunaan tanah eks HGU Misi seharusnya diperuntukan bagi kepentingan pelayanan umum, seperti perkantoran, rumah sakit, panti asuhan, dan kepentingan umum lainnya. “Persoalan ini sudah begitu lama terjadi dan dibiarkan terus menerus. Tapi kenapa DPRD Sikka diam saja. Apakah, ini merupakan bentuk persetujuan terhadap korupsi kebijakan? Atau ada anggota dewan juga mendapat jatah tanah eks HGU Misi,” tegas Mantan Ketua Presidium DPC PMKRI Cabang DKI Jakarta ini. ***
Ditulis oleh wentho eliando

GUGAT PEMKAB SIKKA, GUBERNUR NTT DAN MENDAGRI

 
Foto: Meridian Dewanta Dado, SH.
TIM Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah NTT, mengaku tengah menyiapkan gugatan perdata guna menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka, Gubernur NTT dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), terkait konflik tanah eks. HGU Misi di Kabupaten Sikka. Termasuk juga memperdatakan segenap penerima tanah eks HGU Misi yang sebenarnya tidak berhak menerimanya.
Demikian penegasan Koordinator TPDI Wilayah NTT, Meridian Dewanta Dado, SH., kepada Flores File, Selasa (14/6/2011), menyikapi desakan terkait tanah eks. HGU Misi, yang sampai dengan saat ini masih menjadi polemik ditengah masyarakat Kabupaten Sikka.
“Dalam waktu dekat, kami akan menyiapkan gugatan perdata untuk menuntut Pemkab Sikka, Gubernur NTT dan Mendagri, termasuk memperdatakan juga segenap penerima tanah yang sebenarnya tidak berhak menerima tanah namun justru menjualnya kembali ke pihak lain,” kata Meridian.
TPDI NTT, jelas Meridian, saat ini tengah mempertajam adanya dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan pelaku-pelaku mafia pertanahan, baik dari kalangan oknum - oknum Pemkab Sikka, oknum - oknum politisi yang memegang jabatan, maupun yang sudah purna tugas dalam kasus tanah eks HGU Misi ini. “Termasuk melaporkan pihak-pihak berwenang di Sikka ke Pimpinannya di tingkat pusat, karena laporan pidana dari Kelompok 70 selama ini serta perjuang hukum lainnya sama sekali tidak ditanggapi Polres Sikka dan Kejaksaan Negeri Maumere,” katanya.
Meridian mengaku, selama ini, TPDI NTT sudah didatangi oleh pihak – pihak yang menamakan dirinya Kelompok 70 guna mengadvokasi kasus tanah eks. HGU Misi. Kelompok 70 mengungkapkan bahwa pihak Pemkab Sikka mendasarkan tindakan - tindakannya atas tanah misi berdasarkan Instruksi Gubernur NTT No 2 tentang Petunjuk Pelaksana dan Penggunaan Tanah Bekas Hak Pakai No. 3 Kelurahan Kota Uneng di Maumere.
Menurut Meridian, Instruksi Gubernur NTT, yang dijadikan sebagai dasar oleh Pemkab Sikka, cacat hukum. Karena, pertama, bertentangan dengan asas manfaat yang diamanatkan oleh UU Pokok Agraria. Kedua, pembagian tanah rampasan itu pun diduga syarat dengan KKN.
Alasannya, yang menerima tanah, justru pejabat dan mantan pejabat yang sudah hidup mapan. Ketiga, bahwa pejabat dan mantan pejabat tersebut, menerima jatah tanah lebih dari satu kapling. “Itu artinya bertentangan dengan Instruksi Gubernur dimaksud,” katanya. ***
Ditulis oleh wentho eliando

BENTUK PANSUS TANAH EKS HGU MISI

BIAR SEMUA JUGA TAHU
 Foto: Kasmirus Bara Bheri, SH.
“Jangan hanya Pansus Bansos. DPRD Sikka juga mesti berani membentuk Pansus Tanah Eks. HGU Misi. Karena masyarakat menduga kuat telah terjadi ‘korupsi kebijakan’ sistemik oleh para pengambil kebijakan di Kabupaten Sikka ini. Jadi mesti dilakukan, kalau DPRD Sikka mau dikatakan sebagai wakil rakyat yang pro rakyat dan masih mau dipercaya rakyat Sikka” 
ADALAH Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat (PUSAM) Indonesia, Kasimirus Bara Bheri, SH., yang paling getol dan blak - blakan bicara soal tanah eks HGU Misi. Caesar, begitu Kasimirus Bara Bheri, SH., biasa dipanggil mengatakan, agar DPRD Sikka tidak hanya sibuk mengurus aliran dana Bansos Rp. 10,7 milyar, yang diduga kuat melibatkan Bupati Sikka Drs. Sosimus Mitang, sebagaimana pengakuan staf Kesra Setda Kabupaten Sikka.
Tapi lebih dari itu, DPRD Sikka juga harus membentuk Panitia Khusus (Pansus) mengenai aset daerah tanah Eks. HGU Misi. Tanah eks HGU Misi, juga merupakan kepentingan masyarakat yang disalahgunakan oleh para pengambil kebijakan di Kabupaten Sikka ini.
“Jangan hanya Pansus Bansos. DPRD Sikka juga mesti berani membentuk Pansus Tanah Eks. HGU Misi. Karena masyarakat menduga kuat telah terjadi korupsi kebijakan sistemik oleh para pengambil kebijakan di Kabupaten Sikka ini. Jadi mesti dilakukan, kalau DPRD Sikka mau dikatakan sebagai wakil rakyat yang pro rakyat dan masih mau dipercaya rakyat Sikka,” tandasnya.
Caesar mengatakan, dengan lambannya sikap DPRD Sikka melakukan langkah - langkah penyelesaian masalah tanah eks. HGU Misi, sesungguhnya telah menyisakan sejumlah pertanyaan kritis ditengah masyarakat. Masyarakat sudah menduga, kalau DPRD Sikka juga mengamini korupsi yang maha dasyat. Bahkan, sudah ada masyarakat yang mengatakan kalau para anggota DPRD Sikka telah mendapat jatah pembagian tanah dari Pemerintah Kabupaten Sikka.
“Kita tidak bisa menyalahkan dugaan masyarakat ini. Untuk membuktikannya, maka DPRD Sikka harus berani mengambil sikap dengan membentuk Pansus untuk menelusuri masalah tanah eks HGU. Misi milik Pemkab Sikka,” katanya.
Caesar mengatakan, walaupun itu tidak benar mestinya DPRD Sikka menanggapi dengan bekerja serius untuk memfasilitasi agar persoalan tanah eks HGU Misi, baik milik Pemkab maupun milik Keuskupan tidak hanya sekedar pergunjingkan belaka. Harus ada status hukum yang jelas tentang tanah ini.
Karena itu butuh komitmen kuat DPRD Sikka melakukan penelusuran mengenai penyalahgunaan tanah eks HGU Misi agar masyarakat bisa mendapat informasi yang akurat. Karena mereka sesungguhnya punya hak untuk mengetahui, mendapatkan klarifikasi tentang aset Pemda.
     “DPRD Sikka mesti Pansuskan soal Tanah eks HGU Misi ini. Bukankan, hal ini layak untuk dipansuskan sebagaimana dugaan penyalahgunaan dana Bansos yang bernilai milyaran rupiah? Inikan juga bersentuhan langsung dengan masyarakat banyak,” katanya.
Desakan yang sama juga disampaikan Marsel Isak. Ditemui Flores File, dikediamannya, Marsel mengatakan, sebaiknya masalah tanah eks HGU Misi juga dipansuskan. Biar semua menjadi jelas. Tanah eks HGU Misi, punya sejarah tersendiri dan ada indikasi kuat terjadi manipulasi yang dilakukan oleh para petinggi di kabupaten ini. “Bansos dipansuskan, artinya, Tanah Eks. HGU Misi juga harus dipansuskan. Ini menyangkut kepentingan umum,” tandas Marsel.
Marsel bahkan mendesak agar semua “kejahatan” yang dilakukan pejabat dan mantan pejabat terhadap masyarakat di Kabupaten ini harus dipansuskan. Bukan hanya Bansos, supaya ada rasa keadilan bagi masyarakat kabupaten ini. Dan kepada DPRD Sikka, Marsel juga meminta agar transparan dan melepaskan semua embel-embel kepentingan. Anggota DPRD Sikka adalah merepresentasi dari masyarakat Kabupaten Sikka. Maka tunjukan, kalau anggota DPRD Sikka adalah wakil rakyat, bukan wakil partai atau wakil dari kepentingan segelintir orang.
Dia mengatakan, banyak kejanggalan dan kekeliruan yang terjadi dalam kasus tanah eks HGU Misi yang perlu diketahui masyarakat. Tanah itu, dibagikan secara cuma-cuma. Dan parahnya lagi, diduga kuat telah terjadi manipulasi data yang menyesat yang dilakukan pihak-pihak yang merasa diri sebagai penguasa di kabupaten ini.  
“Masih banyak kasus di Kabupaten ini yang perlu segera dipansuskan. Jangan membuat kami masyarakat awam ini sampai punya kesimpulan meragukan fungsi pengawasan DPRD Sikka terhadap jalannya pemerintah kita. Yang benar dan salah harus diwartakan agar keadilan bisa dirasakan masyarakat. Karena itu, DPRD Sikka harus berani mempansuskan kasus tanah eks HGU Misi,” tegas Marsel.  
Menanggapi desakan masyarakat mengenai perlunya dibentuk Pansus Tanah Eks HGU Misi, anggota DPRD Sikka, punya pendapat berbeda. Welly Pega, menyatakan tidak sepakat apabila masalah tanah eks HGU Misi dipansuskan. Welly Pega punya alasan sendiri. Ia justru mempertanyakan urgensitas Pansus Tanah eks HGU Misi. Apakah hasil Pansus bisa mengembalikan lagi status tanah? “Saya kira tidak ada hal yang sangat urgensi yang bisa mendorong masalah ini dipansuskan oleh DPRD Sikka,” kata politisi muda dari PDI Perjuangan ini.
Berbeda dengan Welly Pega. Anggota DPRD Sikka lainnya, Ir. Simon Subandi, Siflan Angi dan Edi Dore, sepakat jika masalah tanah eks HGU Misi dipansuskan. Menurut mereka, Pansus sangat diperlukan agar semua persoalan bisa lebih terbuka. Karena selama ini, masyarakat Kabupaten Sikka tidak mengetahui aset-aset daerah terutama tanah eks HGU Misi itu diperuntukkan. Karena tanah eks HGU Misi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Simon Subandi mengambil contoh kasus Bansos 2009 yang dipansuskan DPRD Sikka. Masyarakat Kabupaten Sikka, mengetahui adanya temuan penyimpangan dana Bansos Rp. 10,7 milyar oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi NTT. Tapi tidak semua masyarakat tahu, darimana dan kepada siapa aliran dana Bansos bermuara.
“Dengan adanya Pansus Bansos, sekarang seluruh masyarakat tahu, darimana dan kepada siapa aliran dana Bansos bermuara. Jadi saya lebih sepakat, kalau masalah tanah eks HGU Misi juga dipansuskan. Biar semua juga tahu,” kata anggota, dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) ini.
Kita semua tentu sepakat, bahwa semua “borok” yang ada di Kabupaten Sikka ini, termasuk adanya penyimpangan aliran dana Bansos 2009 pada Bagian Kesra Setda Sikka diketahui. Dan tentunya, masalah tanah eks. HGU Misi juga menjadi hal yang sangat mendesak untuk dapat diketahui masyarakat Kabupaten Sikka. Kita berharap DPRD Sikka punya nyali yang sama, kalau DPRD Sikka mau dikatakan sebagai wakil rakyat yang pro rakyat dan masih mau dipercaya rakyat Sikka.
Ditulis oleh wentho eliando

Membangun Pariwisata NTT Dengan Event Daerah


Foto: Silvester Nusa

Hampir setahun saya berada di Maumere, Kabupaten Sikka. Waktu yang belum terlalu lama bagi saya untuk belajar mengetahui semua hal termasuk pariwisata itu sendiri. Saya hanya bisa mengamatinya melalui pemberitaan media massa. Mengapa? Karena saya belum mendengar ada satu event atau pesta budaya yang kemudian dijadikan sebagai event daerah sebagai media promosi. Event daerah bisa dijadikan sebagai suatu jambore atau expo budaya atau apapun namanya, yang terpenting berbau pariwisata. Dengan adanya jambore atau expo, sebenarnya itu menjadi media di mana masyarakat atau siapa saja mengaktualisasikan diri dan mendayagunakan berbagai potensi seni budaya daerah yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Potensi tersebut tumbuh subur dan menyebar merata di seluruh wilayah kabupaten kota dalam bentuk seni tari, seni musik, seni pertunjukan, pesta adat dan berbagai upacara tradisional lainnya. Kesemua potensi tersebut merupakan simbol dan simpul kemasyarakatan sebagai kekuatan dalam pembangunan daerah. Simbol atas sikap masyarakat lokal terhadap hubungannya dengan Sang Pencipta,  lingkungan dan antar masyarakat dan juga simpul kebersamaan yang dibangun atas rasa saling pengertian dan persahabatan dalam hubungan inter dan antar kelompok.

Sebagai masyarakat NTT, kita harus menyadari bahwa peranan kepariwisataan dari tahun ke tahun terasa semakin penting dalam pembangunan secara keseluruhan. Mengapa? Ya, karena industri ini dapat memberikan kontribusi yang semakin signifikan bagi pertumbuhan ekonomi domestik dan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, serta memiliki kemampuan primary mover dan multiplier effects dengan sifatnya yang multi dimensi.

Di samping itu, pariwisata juga merupakan industri yang dapat menyerap tenaga kerja terbesar serta ramah terhadap lingkungan sesuai dengan issue global saat ini yakni pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan industri ini hanya dapat tersaingi dengan industri telekomunikasi dan transportasi. Dalam tataran ekonomi global, revolusi ITT (Investmen, Trade and Tourism) akan sangat memberikan pengaruh bagi pengembangan ekonomi wilayah. Revolusi ITT tersebut telah mendorong berbagai negara untuk mengembangkan ketahanan budaya agar dapat bertahan dari terpaan globalisasi serta mengembangkan kepariwisataan sebagai usaha kemajuan perekonomian bangsanya.

Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang mengembangkan kebudayaan dan pariwisata sebagai salah satu pendukung pilar pembangunan ekonomi rakyat. Kekayaan potensi objek dan daya tarik wisata  sudah tidak diragukan lagi, baik objek wisata alam, budaya maupun minat khusus, yang tersebar hampir di semua wilayah dinilai cukup variatif dan kompetitif. Potensi ini bila dikembangkan dengan baik akan memberikan manfaat ekonomis bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

pengembangan kebudayaan dan kepariwisataan di Provinsi NTT sebagai pendukung pilar pemberdayaan ekonomi rakyat adalah sejalan dengan filosofi dasar pembangunan daerah NTT yang dikumandangkan oleh Drs. Frans Lebu Raya dan Esthon L. Foenay sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT yaitu: ”Sehati Sesuara Membangun NTT Baru”. Dalam spirit filosofis inilah strategi berkelanjutan, peningkatan, percepatan dan pemberdayaan masyarakat digulirkan untuk membangun partisipasi dan kapasitas masyarakat sehingga masyarakat memiliki akses yang cukup luas dalam berbagai kegiatan pembangunan. Di samping spirit filosofis tersebut, dikembangkan pula paradigma Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah), yaitu mengembangkan birokrasi pelayanan publik yang cepat dan murah melalui penataan kelembagaan dan kultur untuk mewujudkan anggaran pembangunan yang lebih besar berpihak pada kepentingan rakyat menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

Dalam konteks perwujudan paradigma Anggur Merah tersebut di atas, maka sektor-sektor pembangunan yang melibatkan peran masyarakat harus terus didorong demi mewujudkan sikap terlibat aktif dalam pembangunan, serta perasaan memiliki terhadap hasil pembangunan itu sendiri.

            Kendala Utama
Kendala utama dalam upaya pengembangan kebudayaan daerah adalah adanya  pemahaman sempit terhadap arti pentingnya kekbudayaan dalam pembangunan bangsa dan negara. Pemahaman yang sempit tersebut membuat banyak orang memahami bahwa kebudayaan hanya sebagai tari-tarian dan nyanyian, padahal kebudayaan sangat penting sebagai sebagai alat perjuangan untuk mendapat pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa. Kendala lainya adalah belum nampaknya sinkronitas program kegiatan yang terbangun sebagai upaya untuk selalu sehati sesuara membangun kebudayaan dan kepariwisataan NTT. 

Sektor kebudayaan dan pariwisata juga merupakan suatu koridor netral yang menghubungkan sesama kepentingan manusia yang mau berbuat baik bagi sesama tanpa melihat asal usul serta latar belakang. Karenanya, pembangunan kebudayaan dan pariwisata harus dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan yang berbasiskan masyarakat (community based development) sebagai upaya menempatkan kebudayaan dan pariwisata menjadi salah satu penggerak perekonomian masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dan pariwisata dapat memberikan kontribusi yang semakin signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan juga penguatan jati diri bangsa, melalui penanaman serta pelestarian nila budaya bangsa.

        RPJPD Propinsi NTT
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi NTT 2005-2025, aspek kebudayaan merupakan misi pertama dari 7 (tujuh) misi pembangunan daerah yaitu: mewujudkan masyarakat NTT yang bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Karena itu, pembangunan kebudayaan perlu diarahkan untuk; Pertama, terwujudnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan kebudayaan sehingga memiliki ketahanan dalam menghadapi pengaruh budaya yang negatif. Kedua, terwujudnya industri dan karya budaya yang mengacu pada budaya bangsa serta perlindungan hukum individual dan komunal. Ketiga, terwujudnya sikap saling menghargai dan menghormati di antara berbagai  komunitas budaya untuk memperkokoh ikatan kebangsaan.

Pembangunan kepariwsataan dalam strategi pembangunan nasional diarahkan sebagai andalan penghasil devisa. Jumlah devisa ditentukan oleh jumlah kinjungan (foreign tourist), lama tinggal (length of stay) dan jumlah pembelanjaan/pengeluaran wisatawan (expenditures). Dalam RPJMD Provinsi NTT 2008-2013, sektor kepariwsataan dikembangkan guna mendukung agenda pembangunan bidang ekonomi yaitu mengembangkan industri pariwsata berbasis bahari dan kepulauan (coastal tourism). Dari rumusan ini memberikan arahan jelas pembangunan sektor kepariwsataan dalam periode ini harusnya memberikan fokus pada pengembangan kepariwsataan bahari dan kepulauan. Hal ini sejalan dengan perjuangan pemerintah Provinsi NTT, untuk mendapat pengakuan sebagai provinsi kepulauan.

        Pendapatan Daerah
Kita patut bersyukur bahwa di tengah guncangan keamanan dalam negeri yang mengganggu image pariwsata nasional, justeru kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun menunjukan trend postitif. Tahun 2008 kunjungan mancanegara ke NTT berjumlah 80.107 orang dengan lama tinggal 3 hari dan pengeluaran US$ 70,0/hari menghasilkan pembelanjaan sebesar Rp. 180,24 miliard, sedangkan kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 143.792 orang menghasilkan pembelanjaan sebesar 43,14 miliard. Dengan demikian maka meningkatnya kunjungan wisatawan ke NTT akan berdampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah.
       
        Event Budaya Daerah
Jika semasa Gubernur Herman Musakabe ada Expo NTT, di masa Bupati Alor, Ans Takalapeta ada Jambore Pariwisata dan Kerajinan Daerah, serta Expo Alor maka event apa yang dibuat semasa Gubernur Piet A.Tallo dan Gubernur Frans Lebu Raya? Atau event apa yang dibuat para Bupati dan Walikota lainnya? Terkadang pernyataan para calon kepala daerah di lembaran visi dan misinya sangat bagus, tetapi masyarakat menunggu praktek nyata dari janji itu belum terwujud. Apa yang dibuat Pemprop NTT dan Pemda Kabupaten/Kota dengan monumen rumah adat masing-masing di Taman Mini Indonesia Indah? Atau adakah event daerah yang jadwalnya diketahui luas minimal masyarakat masing-masing daerah atau masyarakat NTT? Sampai saat ini belum ada jawaban pasti. Kecuali jadwal Reba di Ngada, Caci di Manggarai, Pasola di Sumba, Etu di Nagekeo, Semana Santa di Flores Timur. Agenda-agenda tahunan ini tanpa disupport oleh Pemprop atau Pemkab pun pasti akan tetap terlaksana karena itu adalah seremoni dari rutinitas masyarakat adat itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan Sikka, Lembata, Alor, kabupaten/kota di Timor, Rote Ndao dan Sabu Raijua? Mana event-mu? Kita patut kecewa kalau Expo Alor yang sudah terkenal di mancanegara harus menghilang lantaran egoisme para pemimpin daerahnya yang tidak mau melanjutkannya. Kita juga patut kecewa kalau Lamalera yang terkenal dengan wisata budaya perburuan Ikan Paus setiap tahunnya justru kondisi jalan rayanya tidak diperbaiki atau diaspal oleh pemerintah daerah. Event atau pesta budaya sebenarnya merupakan suatu momentum integrasi beberapa kegiatan antara lain pentas seni budaya, pameran investasi dan rapat koordinasi sinkronisasi program kepariwisataan. Melalui event ini diharapkan bisa terciptanya upaya pelestarian nilai  budaya sekaligus menjadi media promosi keanekaragaman budaya daerah sebagai aset wisata. Kegiatan ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu bagi masyarakat untuk mengembangkan dan menanamkan jati diri seni budaya kita dalam menghadapai gerusan budaya modern yang cenderung merusak nilai-nilai tatanan budaya dan jati diri bangsa, sekaligus memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan kepariwisataan yang bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat, karena dengan intensitas kegiatan pariwisata, masyarakat akan mendapat keuntungan dalam perluasan cakrawala seni dan budaya yang kita miliki. Melalui event tersebut pula, akan terjalinnya kontak seni budaya antar indivdu atau kelompok masyarakat. Kontak-kontak seni dan budaya yang menyertai mobilitas penduduk itu akan memperkaya khasanah seni dan budaya masyarakat yang terlibat, sekurang-kurangnya  memberi inspirasi untuk pengembangan pranata sosial budaya dalam masyarakat pendukungnya.

Cita-cita tersebut di atas baru dapat diwujudkan jika  ada pemahaman bersama bahwa upaya pengembangan kebudayaan dan pariwisata ini hanya bisa ditempuh melalui reposisi dan penyusunan strategi perencanaan yang inovatif, efektif, dan efisien melalui  koordinasi yang sinergis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, serta stakeholders.
Bertolak dari alur pemikiran ini maka, berbagai aspek penting yang berkaitan dengan pengembangan kepariwisataan mulai dari perencanaan program, strategi pelaksanaan, aplikasi praktis sampai pada evaluasi perlu dilakukan dengan sistem yang koordinatif, terarah, dan efisien guna pencapaian tujuan/sasaran yang mau ditargetkan.

Sehubungan dengan itu dalam rangka optimalisasi pencapaian sasaran dan pemantapan pengembangan kebudayaan dan pariwisata kabupaten/kota se-NTT, maka event budaya diharapkan akan mampu melahirkan suatu unggulan pariwisata daerah. untuk mendorong perubahan sikap tingkah laku yang lebih maju dalam menghadapi kemajuan peradaban manusia serta peningkatan pelayanan yang berkualitas dengan tetap berada dalam koridor sosial budaya indonesia khususnya NTT yang sangat pluralistik tersebut.

Melalui event budaya daerah, Pemda Kabupaten/Kota dan dunia usaha juga bisa menggelar pameran investasi daerah. Dengan cara ini kita semua bisa menyebarluaskan informasi tentang berbagai produk andalan masing-masing daerah. Dengan metode ini, pada saatnya akan dapat manarik minat investor untuk dapat menanamkan modalnya  di NTT. Di samping itu, dengan adanya pameran investasi juga diharapkan adanya sebuah skema kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat lokal dan daerah dan menghindari terjadinya capital flight yang berlebihan yang menyebabkan manfaat terbesar hanya dinikmati oleh kelompok kecil di luar daerah. Manfaat lainnya adalah dengan adanya pameran investasi maka bisa mendorong masyarakat lokal untuk melihat berbagai potensi yang dapat dikembangkan pada skala lokal dalam  upaya peningkatan taraf hidupnya sehingga peluang dan kesempatan kerja dapat diciptakan sendiri oleh masyarakat dengan dukungan fungsi fasilitasi oleh pemerintah.

        Kebangkitan Kebudayaan NTT
Apapun namanya apakah event budaya, pesta budaya, jambore atau pameran, yang terpenting bagi kita adalah suatu ciri khas pariwisata daerah masing-masing. Jika semua daerah memilikinya maka ini merupakan kesempatan bangkitnya budaya NTT. Momentum awal kebangkitan kebudayaan NTT yang sangat kaya akan keragaman budaya dari masing-masing etnis. Dengan adanya event budaya, seluruh masyarakat di suatu wilayah atau daerah diharapkan bisa lebih mencintai dan mengembangkan produk lokal yang dihasilkan oleh masyarakat. Lewat gerakan cinta pariwisata dan seni budaya (gentania), kita senantiasa memanfaatkan produk andalan kita dalam berbagai aktifitas pemerintahan dan kemasyarakatan yang terjadi seperti: menggunakan pangan lokal dalam berbagai pertemuan, menggunakan pakaian tenunan, interior dan exterior tempat usaha (hotel dan restoran) yang menggunakan produk lokal, menggaungkan lagu daerah dalam berbagai kesempatan terutama pada kendaraan umum, prototype rumah tradisonal dalam design pagar dan gedung perkantoran, serta berbagai kegiatan lainnya yang dapat mendorong pemanfaatan potensi dan kearifan lokal secara maksimal. Dengan cara ini, kita semua yakini bahwa dengan ketulusan dalam berbuat yang terbaik bagi masyarakat, daerah dan bangsa akan menjadikan kita manusia yang kaya arti, manusia yang bermanfaat bagi sesama dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. (***)