SALAH SATUNYA RESOLUSI PENGHENTIAN PEMBANGUNAN DERMAGA NIAGA
NANGANIO - WATUKAMBA
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Flores – Lembata berhasil melaksanakan kegiatan Musyarawah wilayah (MUSWIL) yang bertempat di PSE Ende, baru-baru ini, dalam proses itu Philipus Kami mendapat kepercayaan sebagai kordinator AMAN Flores lembata, kegiatan yang melibatkan beberapa fungsionaris adat se flores lembata itu, menghasilkan beberapa Resolusi dalam sidang pleno, termasuk Resolusi penghentian pembangunan Dermaga niaga di Nanganio Watukamba- kecamatan Maurole. Argumentasi mendasarnya adalah dengan adanya wacana pembangunan itu terjadi penghilangan hak para fungsionaris adat, serta tatanan adat yang di bangun sejak turun termurun dengan situasi dan kondisi yang kondusifpun telah tada, dan akan berdampak pada hilangnya nilai religiulitas, dan eksistensi adat secara keseluruhan. Kebebasan adat adalah hak turun termurun yang tidak bisa di intervensi oleh pihak siapapun, konsep pembanguna harus di mulai atau diawali dengan sebuah pendekatan kepada para pemangku adat dengan tidak mengesampingkan strata di antara mareka.
Philipus Kami yang juga sebagai Dewan AMAN NTT ini mengatakan bahwa paling mendasar dalam suatu pembangunan adalah mengenal keadaan, kalau yang menjadi sasaran pembangunannya masih dalam ulayat adat, dalam tataran itu jelas akan menemukan situasi social, dan budayanya, dalam tataran itulah para pelaku kebijakan akan mengetahui siapa di antara para pemuka adat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam struktur adatnya tersebut. Dan apa berwenang atau tidak untuk mengeksekusi sebuah pembangunan dalam wilayah itu. “Inilah yang dinamakan dengan mengenal keadaan, untuk memengetahui struktur social dan budaya, jika sudah melalui itu, maka proses pendekatan yang dilakukan, tentunya tidak akan salah”. Kata Phlipus.
Dan kalaupun pembangunan itu tetap di paksakan, jelas kesejahteran yang menjadi harapan masyarakat Nanganio-watukamba tidak akan di nikmati secara bersama-sama, karena sebagiannya masih merasa sakit hati dengan kehadiran dermaga itu, mana lagi dengan hak adatnyapun di hilangkan, sampai kapanpun tidak akan merasa bahagia dan sejahtera, pembangunan pada hakekatnya untuk sejahtera bagi semua, bukan hanya segelintir orang dan bukan hanya materialnya tetapi yang paling penting adalah batin seseorang, harus merasa sejahtera.
Lebih lanjut Philipus menjelaskan dalam MUSWIL tersebut bahwa masyarakat adat dengan berbagai persoalan yang sangat kompleks, cukup membangun kecerdasan berpikir untuk mengemukakan gerakannya baik ditingkat daerah ,Wilayah,Nasional maupun internasional. Gerakan yang dilakukan adalah berupaya perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berbau neoliberal yang sering melupakan apa yang menjadi hak-hak masyarakat adat. Menurutnya dalam dunia modern yang kapitalis, kekutan modal, informasi dan dominasi politik internasional dan global selalu menang atau dimenangkan. Hal itu berarti terjadi kebijakan pembagunan yang di paksakan dengan kekuasaan, karena hampir di semua Negara miskin dan berkembang yang bertumpuhkan pada pinjaman dari luar Negeri baik IMF, Bank Dunia, ADB yang diberikan dengan berbagai persyaratan yang tidak adil dan terkesan menindas. Kondisi seperti itu mendorong masyarakat adat di seluruh dunia untuk mulai bangkit melawan tindakan, atas kebijakan pemerintah yang sering dikendalikan oleh penguasa modal dan pasar ditingkat dunia. Berbagai perlawanan melalui aksi Demo, sabotase, mogok, mulai berkembang maju, lobi dan pendekatan politik yang professional dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan public yang lebih berpihak pada persoalan masyarakat adat mulai dilakukan, kendati belum masksimal.
Eramus Chayadi, Ketua Devisi Advokasi Hukum dan kebijakan AMAN dalam materinya mengatakan masyarakat adat telah ada jauh sebelum Negara terbentuk. Para pendiri bangsa menyadari bahwa komunitas masyarakat adat memiliki hak yang bersifat asal usul. Hal ini termuat dalam risalah sidang BPUPKI dan penjelasan Undand-Undang Dasar 1945. Dikatakannya,dalam kehidupan adat, dikenal dengan prinsip Free prior Informed Consent (FPIC) yaitu : suatu prinsip yang menegaskan adanya hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mareka inginkan pada wilayah mareka, secara terinci dapat di rumuskan sebagai hak masyarakat adat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mareka, dan berdasarkan informasi tersebut, mareka secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak, Itu berarti jika pihak atau orang luar mau masuk ke dalam wilayah-wilayah masyarakat adat dengan menjelaskan apa yang hendak mareka lakukan, dan berunding dengan masyarakat adat bersangkutan, mengingat bahwa masyarakat bisa setuju ataupun tidak setuju terhadap apa yang di usulkan.
Prinsip Free atau bebas yaitu suatu keputusan yang diambil melalui proses yang saling menghormati tanpa dengan cara kekerasan, pemaksaan, intimidasi, ancaman dan sogokan. Prior atau mendahului yaitu perundingan-perundingan yang seharusnya di lakukan sebelum pemerintah, para pemodal dan perusahan-perusahan memutuskan rencana yang hendak di kerjakan, itu berarti perundingan-perundingan terlebih dahulu dilakukan dengan masyarakat sebelum bulldozer datang dan sebelum para tukang survey dan penilai datang untuk mengukur dan melihat-lihat sekitar tanah-tanah masyarakat adat, bukan dengan serta merta tanpa dengan suatu pendekatan. Informed atau diinformasikan pihak atau orang luar harus memberikan semua informasi yang mareka miliki kepada masyarakat, terkait dengan kegiatan yang direncanakan, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipahami masyarakat, itu berarti memberikan waktu kepada komunitas untuk membaca, menilai dan membicarakan, informasi profil dan kinerja perusahan yang akan mengelolah dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah mareka harus di berikan secara jelas, informasi AMDAL (analisa Dampak Lingkungan) yang memuat kajian dampak positif dan negative proyek sesudah dan sebelum operasi, meliputi aspek social budaya, ekologi, dan ekonomi, harus di jelaskan kepada masyarakat
Menurutnya, FPIC menjadi penting bagi masyarakat adat untuk menyeimbangi hubungan masyarakat dengan pihak luar, karena berkaitan dengan menghormati hak masyarakat adat atas wilayahnya dalam memutuskan apa yang masyarakat ingin melakukan diatas tanahnya. Artinya pembangunan bisa dilakukan apabilah masyarakat adat telah menerima rencana kerja yang menguntungkan bagi mareka secara keseluruhan dengan tidak menghilangkan hak adat serta nilai dan tatanan yang berlaku. Eramus yang berdomisili di Jakarta ini sangat perihatin dengan pembangunan yang terjadi di setiap daerah yang menghilangkan hak para pemangku adat, prinsip FPIC sangat bertentangan dengan konsep pembangunan yang mengkabiri adat, karena diyakinnya apa bila di biarkan makan adat akan hilang, untuk itu di harapkan kepada anggota AMAN se Indonesia untuk bergandeng tangan menyatukan kekuatan dan pikiran melawan bentuk penjajahan adat yang sudah membumi di setiap wilayah.
Dalam MUSWIL itu ditetapkan Dewan Aman dan Badan Pengurus Harian (BPH) Wilayah Flores Lembata serta berhasil menyusun program kerja, dan mengeluarkan Resolusi terhadap, pertama pihak pemerintah, penegak hukum dan komnas HAM, Kapolres Manggarai, Kapolda NTT untuk segera membuka kembali dan megusut secara tuntas penembakan terhadap masyarakat adat di Manggarai pada tanggal 10 April 2004, kedua Mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut Ijin Prinsip penambangan di wilayah AMAN Nusa Bunga Flores-Lembata, ketiga mendesak kepada menteri kehutanan RI untuk segera mencabut kembali SK tentang penetapan tapal batas kawasan hutan tahun 1984 dan SK tentang penetapan cagar alam Watuata dan cagar alam Wolomera tahun 1992, keempat mendesak pemerintah kabupaten Ende untuk meninjau kembali serta menghentikan rencana pembangunan dermaga Nanganio, yang mengakibatkan konflik horisontal antara komunitas adat yang satu dengan komunitas adat yang lain, Kelima mendesak Gubernur agar sesegera mungkin menyelesaikan konflik batas antara Kabupaten Ngada. Manggarai Timur, Sikka dan Flotim, keenam Meminta kepada Pemerintah Kabupaten sedaratan Flores Lembata untuk meratorium terhadap pemekaran desa, karena banyak sekali menimbulkan konflik tapal batas antar desa.
Di tempat terpisah, Tem flores file berhasil bertemu dengan YOHANES LAKA mosalaki pu’u tanah wolosambi, Ia mengatakan, bahwa pemerintah belum menanggapi secara serius dengan polemik yang terjadi di Nanganioi- watukamba, bahkan dalam beberapa hari terakhir ini, pemerintah melalui media massa selalu mengatakan bahwa pembangunan dermaga Niaga tetap jadi dan final untuk di Nanganio Watukamba. “Kami merasakan sekali persoalan itu kelihatan dibiarkan begitu saja, dan pemerintah tidak pernah berpikir dengan sebagian mosalaki yang hak adatnya hilang, pemerintah seoleh-olah miliknya hanya sebagian orang, kami sepertinya tidak mempunyai pemerintah yang memiliki nilai pengayoman, nilai kapo gao terbukti dengan beberapa kali pernyataan kami, pemerintah tidak menanggapi, yang di tanggapi hanya dermaganya tetap jadi dan final, tanah itu miliknya adat bukan miliknya orang di luar adat yaitu miliknya kami mosalaki, di luar itu bukan pemilik, bagaimanapun kalau pemiliknya masih ada pro dan kontra, maka keputusan pengalihan status tanah tidak bisa di lanjutkan, tidak boleh dengan serta merta bahwa harus dibangun tempat itu, Untuk di ketahui 50 an lebih tahun saya menjadi mosalaki untuk tanah Wolosambi Nanganio (tempat pembangunan dermaga niaga), Tanah koba aje dan tanah tabe mude, saya tetap menjadi mosalaki dan tidak ada satu orangpun yang mengintervensi hak itu, hanya dengan pembangunan dermaga niaga saat ini, status mosalaki saya di hentikan dan dihilangkan, kalau pemerintah juga termasuk anak adat mestinya bukan bersikap seperti itu, bgaimanapun harus mencari solusi yang terbaik, dengan tujuan agar nilai regiulitas adat tidak boleh hilang. Tapi namanya mosalaki saya tetap menjadi mosalaki kecuali saya meninggal dulu, (umu ku du ngango ku deki, mutu gu ia pai baru aku du’u mosalaki), mosalaki mata sepi welu se pi, tunggu satu habis baru diganti dan bukan asal pasang, latu no ola wenggo ke,so bhoka au, paga moge, bukan dengan tiba-tiba jadi mosalaki, tapi bapak saya MOSA LAKI RIA KELI WODA tahu mengenai haknya sekarang hilang walaupun Ia sudah meninggal, ini kepercayaan adat, barang siapa yang injak di tanahnya mosalaki KELI WODA, SIAPAPUN DIA DAN DARIMANAPUN ASALNYA dengan tidak mengakui hak KELI, semoga EMA KELI beserta seluruh nenek moyang saya mengejar dan mengikuti mareka, sampai kapanpun temuilah mareka, dan sapalah mareka,( DEMI KELI IWA LAKI AKU LAKA UMU IWA BEWA, DEMI KELI O TEBO LAKI LO ONGGA, LAKI DEO NO TANA TAKE NO WATU, DEO NO ULU TAKE NO EKO, ABE DO DHAWE BE PERE SAWE KEMA BE PERE MBEJE ANA O MBOU RIA RAMBA BEWA, SERU O NIKU LEMA O LEO)”. Demikian kata Laka.
“Dan jangan pernah berpikir bahwa ketika kami menghindar dari lokasi, dalam arti kami takut, kami masih mencari jalan keluar untuk menyelesaikan dengan akal sehat, sehingga kami mencari dan mencari untuk menemukan kebenaran dengan pikiran dan nurani yang baik, sebagai anak adat dan keturunan mosalaki kami tidak mungkin mundur, (iwa latu ola nau, tebo o laki lo ongga, o ta’u ata)”.Lanjut laka. (Herman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar