Senin, 26 September 2011

Perlukah Masyarakat Mengawasi Pemerintah Dalam Pelayanan Publik?

Oleh: Silvester Nusa  *)  

BERGULIRNYA reformasi pemerintahan yang dipelopori oleh para mahasiswa angkatan tahun 1966 dan angkatan tahun 1998 telah membawa banyak perubahan dalam sistim pemerintahan dan ketata-negaraan. Reformasi yang telah mengorbankan jiwa dan raga itu seolah telah menemukan roh dari sistim pelayanan pemerintahan yang sesungguhnya. Namun, zaman terus berubah, mental aparatur pemerintahan kita mulai kendur dari semangat reformasi itu sendiri. Rakyat terkadang dilihatnya bukan sebagai ”tuan” atas pelayanannya tetapi jusrtru dipandang sebagai ”orang yang bodoh, orang yang perlu diatur-atur, orang yang perlu disuruh-suruh” dan lain sebagainya. Rakyat yang seharusnya sebagai ”tuan” atas sistim pemerintahan itu sendiri justru menjadi pihak yang terabaikan. Lihat saja mulai dari pengalokasian jatah anggaran. Siapa yang lebih besar menggunakan kekayaan negara? Justru para aparatur pemerintahan. Biaya atau belanja aparatur seluruh daerah jauh lebih besar ketimbang belanja pembangunan. Untuk datang ke desa saja yang berjarak satu atau dua kilo meter dari kantor harus mengantongi surat perintah perjalanan dinas (SPPD). Isi dari kandungan SPPD itu sebenarnya bukan pada maksud dan tujuan perjalanan itu sendiri melainkan berapa besar rupiah yang tertera di dalamnya. Maka jadilah rakyat yang ”ditunggangi” oleh para aparatur negara kita.

Kini saatnya masyarakat perlu menyadari tentang tugas utama dari pemerintah itu sendiri yakni memberikan pelayanan umum (public service), pembangunan (development) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Ketiga fungsi tersebut di atas menjadi alasan mendasar mengapa diperlukan pemerintah dalam sebuah negara. Apabila tidak dapat mengemban ketiga misi ini secara baik, harus dipertanyakan; apakah pemerintah masih dibutuhkan?  Tugas pemerintah yang pertama adalah memberikan pelayanan publik (public service). Menurut (Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Thn 2009), pelayanan Publio diartikan sebagai suatu kegiatan/rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan di berbagai bidang bagi setiap warga negara. Jika kita berbicara tentang pelayanan maka unsur dari pelayanan itu sendiri antara lain berupa barang, jasa dan administratif. Pelayanan publik ini disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik atau pemerintah yang direpresentasikan pada dinas, badan, kantor, bagian atau bentuk lain dari satuan kerja perangkat daerah dan negara.

Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Kep Menpan) Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003), pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan. Penyelenggara dari pelayanan publik menurut Kep Menpan ini adalah instansi pemerintah pada semua tingkatan. Instansi pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan Instansi pemerintah lainnya baik pusat maupun daerah, BUMN, BHMN, dan BUMD.  

Berlakunya UU Pelayanan Publik maupun terbitnya Keputusan Menpan tersebut sebenarnya bermuara pada suatu tujuan besar yakni memberikan kepastian masyarakatbahwa semua sektor pemerintahan akan bekerja secara profesional, jujur dan dilandasi keadilan. Dengan demikian, masyarakat mengharapkan pemberian pelayanan publik secara berkualitas dari aspek proses, anggaran, personil, sarana/prasarana sehingga dapat menjamin bahwa masyarakat akan mendapat apa yang harus diperolehnya.

            Yang Diatur Dalam UU  
Tentu saja dengan lahirnya UU tersebut, semua pihak baik pelayan maupun orang yang dilayani akan terjamin hak-haknya. Namun di sisi lain, sebagaimana undang-undang lainnya, selain hak harus ada keseimbangan antara hak dengan kewajiban. Jika tuntutan hak jauh melebihi kewajiban maka akan nampak ketimpangan dalam proses pelayanan. Inilah yang disebut dengan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perjuangan untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2002. Perjuangan ini mencapai puncaknya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Apa saja yang diatur di dalam UU tersebut? Jika kita secara jeli menghitungnya  maka kita akan menemukan 13 point penting yang di atur dalam UU tersebut. Materi-materi yang ditur dapat kita utarakan satu persatu. Pertama, hak dan kewajiban penyelenggara Negara. Kedua,  hak dan kewajiban pelaksana pelayanan. Ketiga, hak dan kewajiban masyarakat. Keempat,  larangan bagi pelaksana. Kelima, kewajiban menyusun standar pelayanan. Keenam, kewajiban membuat maklumat pelayanan. Ketujuh,  sistem informasi pelayanan publik. Kedelapan, pelayanan khusus, penilaian kinerja. Kesembilan,  peran serta masyarakat, mekanisme pengaduan. Kesepuluh, ganti rugi bila menimbulkan kerugian. Kesebelas,  penyelenggara/pelaksana dapat digugat ke PTUN (Kerugian TUN, perluasan obyek gugatan TUN sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Keduabelas, digugat ke Pengadilan (perbuatan melawan hukum). Ketigabelas, melalui ajudikasi oleh Ombudsman Republik Indonesia (diatur dengan Perpres).

Dalam UU Pelayanan Publik juga secara jelas mengatur tentang sanksi bila pihak penyelenggara tidak melaksanakan kewajibannya. Sanksi yang dikenakan pada umumnya bersifat administratif berupa: terguran tertulis,  pembebasan dari jabatan,  penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun, penurunan pangkat setingkat lebih rendah paling lama 1 tahun, pemberhentian tidak hormat, pemberhentian dengan hormat. Bagi perusahaan dapat dicabut izin terbit,  bila ada sanksi pidana maka tidak otomatis membebaskannya dari ganti rugi.

Undang-Undang Pelayanan Publik juga mengamanatkan kepada para kepala daerah yakni gubernur, walikota, bupati selaku pembina pelayanan publik harus terus melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan melaporkan perkembangannya kepada DPRD setempat. Selain itu, para pembina pelayanan publik juga wajib memberikan perhatian berupa penghargaan kepada penyelenggara/pelaksana yang berhasil melaksanakan tugas. Penghargaan ini dimaksudkan untuk memberikan semangat, motivasi dan dorongan kepada yang lainnya untuk terus berlomba menunjukan prestasi dan kinerja yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima kepada publik, maka tugas dari para pembina adalah memastikan dan menyiapkan kemampuan aparat (SDM) birokrat dalam melakukan pelayanan,  memberikan materi manajemen pelayanan dalam Diklat-Diklat Pra Jabatan bagi calon PNS dan Diklat-Diklat struktural dalam berbagai tingkatan. Dengan cara ini, aparatur akan memastikan dirinya bisa memberikan pelayanan yang prima dan profesional di bidangnya. Untuk dapat mengukur seberapa besar kwalitas dari kinerja atau pelayanan tersebut maka sangatlah perlu menetapkan sebuah standar dari pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan. Komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalam penetapan standar pelayanan publik adalah dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme, dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, sarana dan prasarana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai standar pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja pelaksana.

Dengan adanya sejumlah komponen standar pelayanan tersebut maka akan berdampak pada kwalitas dari setiap layanan insitusi publik. Implikasi dari standar pelayanan itu bisa dilihat dari; pertama, masyarakat akan terjamin menerima suatu pelayanan dari Pemerintah. Kedua, dapat ditentukan Standard Spending Assesment (SSA) yaitu perhitungan biaya untuk suatu pelayanan, dan perhitungan kebutuhan agregat minimum pembiayaan daerah. Ketiga, menjadi landasan dalam menentukan anggaran suatu pelayanan publik, perimbangan keuangan dan anggaran berbasis kinerja. Keempat, bagi daerah, dapat membantu penilaian kinerja atau LPJ Kepala Daerah secara lebih akurat, terukur, transparan dan akuntabel. Kelima, menjadi argumen bagi peningkatan pajak dan retribusi daerah karena baik Pemda dan masyarakat dapat melihat keterkaitan pembiayaan dengan pelayanan publik yang disediakan Pemerintah. Keenam, merangsang rasionalisasi kelembagaan Pemda, karena Pemda akan lebih berkonsentrasi pada pembentukan kelembagaan yang berkolerasi dengan pelayanan masyarakat. Ketujuh, membantu Pemda dalam merasionalisasi jumlah dan kualifikasi pegawai yang dibutuhkan dengan kemampuan mengelola pelayanan publik tersebut.

            Pengawasan Publik
Dalam UU Pelayanan Publik, ada klausul yang mengamanatkan tentang perlunya pengawasan pelayanan publik yang terdiri dari pengawasan eksternal maupun internal. Untuk pengawasan internal, bisa dilakukan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan    perundang-undangan, atau pengawasan yang dilakukan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan pula. Sedangkan pengawasan eksternal, dilakukan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan publik. Pengawasan eksternal juga dilakukan oleh lembaga negara yang namanya ombudsman sesuai dgn peraturan perundang–undangan, dan pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan tingkatan yakni kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.

            Peran Ombudsman
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 angka “1” UU No. 37 Thn. 2008).

Tugas Ombusman menurut UU ini adalah; pertama, menerima laporan dugaan maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua, melakukan pemeriksaan laporan. Ketiga,  menindaklanjuti laporan. Keempat,  melakukan investigasi atas prakarsa sendiri. Kelima, melakukan koordinasi/kerjasama dengan lembaga negara/lembaga pemerintahan /lembaga kemasyarakatan/ perseorangan. Keenam,  membangun jaringan kerja. Ketujuh, melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyeleggaran pelayanan publik. Kedelapan, melakukan tugas lain yang diberikan undang-undang (Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2008).

Untuk memastikan lembaga ombudsman dapat berperan sesuai tugas yang telah disebutkan, lembaga ini oleh UU Pelayanan Publik juga mengamanatkan sejumlah kewenangan sebagaimana yang terurai di Pasal 8 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2008. Kewenangan yang dimaksud adalah; pertama. meminta keterangan pihak-pihak yang terkait dengan laporan. Kedua, memeriksa dokumen terkait. Ketiga, meminta klarifikasi, salinan, copy atau dokumen lain pada instansi penyelenggara negara. Keempat, melakukan pemanggilan. Kelima, melakukan mediasi, konsiliasi atas permintaan para pihak. Keenam, membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, ganti rugi dan/rehabilitasi. Ketujuh, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi.

Terkait dengan pentingnya kelembagaan ombudsman ini, sejak tahun 2005, Kantor Ombudsman RI Perwakilan NTT dan NTB telah menerima 820 laporan masyarakat. Laboran ini belum ditambah dengan komplain masyarakat kepada lembaga konsumen seperti YLKI dan lain-lain serta komplain yang disampaikan melalui LSM. Mengana ombudsman harus menerima keluhan sebanyak itu? Ini semua disebabkan oleh karena buruknya pelayanan dan ini bisa kita rasakan saat berurusan dengan dinas/badan/kantor/unit yang membawahi bidang tugas pelayanan kepada masyarakat berupa KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, surat-surat tanah dan lain sebagainya. Daam pelayanannya kita juga menemukan ada dua model yang dikedepankan oleh para aparatur. Ada yang menggunakan jalar aturan dan ada yang menggunakan jalar pertemanan atau kekeluargaan serta jalur sogok agar administrasi yang dibutuhkan segera diproses cepat. Jika tidak maka membutuhkan waktu yang Sangat lama karena berbelitnya syarat dan prosedur yang tidak jelas atau perlunya biaya tambahan tanpa statu dasar hukum.

Pokok permasalahan dari buruknya kinerja pelayanan tersebut sebenarnya berpangkal pada rendahnya moralitas dan etos verja aparatur. Problem lanilla hádala aparatur belum sepenuhnya responsif sehingga harus dibekali melalui diklat sehingga setiap tahun seorang aparatur harus berpindah tempat duduk dari satu hotel ke hotel yang lain atau dari satu aula ke aula yang lain hanya untuk mengikuti diklat. . Problem berikutnya aalah kurang adanya koordinasi lintas sector, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/aspirasi, kelembagaan (hirarkis dan berbelit-belit. Dampak lain dari buruknya pelayanan seperti ini adalah para pelaku bisnis enggan berinvestasi di daerah. Padahal, setiap pelaku bisnis sangat membutuhkan waktu dan iklim usaha yang aman. Lalu adakah alternatif solusi untuk memecahkan segumpal problemática ini? Solusinya adalah perlu ada penetapan standar pelayanan bagi seluruh SKPD termasuk BUMN dan BUMD, pengembangan estándar operacional pelayanan. Perlu ada survey kepuasan penerima layanan, pengembangan sistem pengelolaan pengaduan,  restrukturisasi birokrasi (PP 41/2008). Perlu ada suatu komitmen dan tekad yang kuat dari kepala daerah untuk memberantas perilaku koruptif. Selain itu, yang harus dilakukan adalah perlunya membangun jaringan dengan media massa dan LSM guna melakukan kontrol dan sosialisasi hasil pembangunan. Untuk dapat melaksanakan ini, maka seorang kepala daerah dan pimpinan SKPD rajin-rajin berkomunikasi dengan wartawan baik melalui press room yang disediakan pemerintah di Kantor Bupati atau Walokota dan Gubernur, atau melalui press release.


*) Penulis adalah Pekerja Sosial di sebuah NGO tinggal di Maumere, Flores.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar