Sabtu, 24 September 2011

GUGAT PEMKAB SIKKA, GUBERNUR NTT DAN MENDAGRI

 
Foto: Meridian Dewanta Dado, SH.
TIM Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah NTT, mengaku tengah menyiapkan gugatan perdata guna menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka, Gubernur NTT dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), terkait konflik tanah eks. HGU Misi di Kabupaten Sikka. Termasuk juga memperdatakan segenap penerima tanah eks HGU Misi yang sebenarnya tidak berhak menerimanya.
Demikian penegasan Koordinator TPDI Wilayah NTT, Meridian Dewanta Dado, SH., kepada Flores File, Selasa (14/6/2011), menyikapi desakan terkait tanah eks. HGU Misi, yang sampai dengan saat ini masih menjadi polemik ditengah masyarakat Kabupaten Sikka.
“Dalam waktu dekat, kami akan menyiapkan gugatan perdata untuk menuntut Pemkab Sikka, Gubernur NTT dan Mendagri, termasuk memperdatakan juga segenap penerima tanah yang sebenarnya tidak berhak menerima tanah namun justru menjualnya kembali ke pihak lain,” kata Meridian.
TPDI NTT, jelas Meridian, saat ini tengah mempertajam adanya dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan pelaku-pelaku mafia pertanahan, baik dari kalangan oknum - oknum Pemkab Sikka, oknum - oknum politisi yang memegang jabatan, maupun yang sudah purna tugas dalam kasus tanah eks HGU Misi ini. “Termasuk melaporkan pihak-pihak berwenang di Sikka ke Pimpinannya di tingkat pusat, karena laporan pidana dari Kelompok 70 selama ini serta perjuang hukum lainnya sama sekali tidak ditanggapi Polres Sikka dan Kejaksaan Negeri Maumere,” katanya.
Meridian mengaku, selama ini, TPDI NTT sudah didatangi oleh pihak – pihak yang menamakan dirinya Kelompok 70 guna mengadvokasi kasus tanah eks. HGU Misi. Kelompok 70 mengungkapkan bahwa pihak Pemkab Sikka mendasarkan tindakan - tindakannya atas tanah misi berdasarkan Instruksi Gubernur NTT No 2 tentang Petunjuk Pelaksana dan Penggunaan Tanah Bekas Hak Pakai No. 3 Kelurahan Kota Uneng di Maumere.
Menurut Meridian, Instruksi Gubernur NTT, yang dijadikan sebagai dasar oleh Pemkab Sikka, cacat hukum. Karena, pertama, bertentangan dengan asas manfaat yang diamanatkan oleh UU Pokok Agraria. Kedua, pembagian tanah rampasan itu pun diduga syarat dengan KKN.
Alasannya, yang menerima tanah, justru pejabat dan mantan pejabat yang sudah hidup mapan. Ketiga, bahwa pejabat dan mantan pejabat tersebut, menerima jatah tanah lebih dari satu kapling. “Itu artinya bertentangan dengan Instruksi Gubernur dimaksud,” katanya. ***
Ditulis oleh wentho eliando

Tidak ada komentar:

Posting Komentar